Mutiara Iman

Mutiara Iman

IMAN DAN AMAL SHALEH

Keimanan yang sebenarnya bukan semata-semata hayalan dan pikiran, bukan pula keyakinan dalam hati saja, akan tetapi ia

adalah kepercayaan yang terpatri dalam hati yang diikuti dengan aksi berupa karya nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Keimanan pada diri setiap muslim tidak dapat dipisahkan dari amal shaleh (amal yang baik dan bermanfaat). Ulama sepakat mengatakan bahwa amal (perbuatan) adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan, karena keimanan yang sempurna akan dapat diraih hanya jika dibarengi dengan amal yang nyata.

Rasulullah Saw.bersabda:

“Iman itu bukanlah harapan semata,  bukan pula perhiasan yang terlihat, akan tetapi ia  adalah sesuatu yang tertanam dalam hati dan direalisasikan dengan perbuatan” (HR. Ibnu Najjar dan Dailami)

Dalam al-Qur’an kata iman yang selalu disandingkan dengan amal (perbuatan) terhitung barjumlah 70 ayat antara lain:

Allah SWT. berfirman:

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan ‘amal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran”. (QS, al-’Ashr: 1-3)

Allah SWT. berfirman:

“…Kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan ‘amal shalih, bagi mereka ganjaran yang tak terhitung”, (QS, al-Tin: 6)

Allah SWT. berfirman: 

“Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal shalih itu adalah sebaik-baik hamba Allah”,(QS, al-Bayyinah: 7) dan lain sebagainya.

Ada dua rahasia mengapa Allah seringkali menyandingkan iman dan amal dalam al-Qur’an:

Pertama, Keimanan kepada Allah yang Esa merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Semua amal perbuatan yang dilakukan akan bermakna dan mendapatkan ganjaran pahala disisi Allah apabila dilandasi oleh keimanan.

Rasulullah Saw. Bersabda:

Dari Anas bin Malik Ra. Rasulullah Saw pernah bersabda: “Tidak seorangpun dari orang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, dan binatang kecuali semua itu adalah sadaqah” (HR.Bukhari)

Allah juga berfirman,

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (perbuatan baik), bahwa mereka akan memperoleh taman surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (QS, al-Nahl: 97)

Kedua sebesar dan sebanyak apapun amal yang dilakukan oleh orang yang tidak beriman (kafir) baik untuk tujuan individu maupun social maka ia tidak akan berarti dan bermakna apa-apa dihadapan Allah SWT.

Allah menegaskan hal itu dalam firman-Nya:

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka (orang yang tidak beriman) kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan” (QS, al-Furqan: 23).

Jika keimanan itu telah kita miliki maka saying jika ia tidak kita sempurnakan dengan perbuatan baik yang bermanfaat buat diri kita, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian hidup kita akan berarti dan bermakna bukan hanya dihadapan manusia akan tetapi juga dihadapan sang pencipta. Wallahu a’lam


AHLI SURGA

Suatu hari, sejumlah sahabat sedang duduk bersama Rasulullah Saw. tiba-tiba Rasulullah Saw. Berkata dihadapan mereka: “sesaat lagi dihadapan kalian akan melintas seorang laki-laki ahli surga”. Mendengar ucapan tersebut para sahabat menjadi penasaran, siapakah gerangan laki-laki yang dielu-elukan Rasulullah Saw. itu. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki dari kaum Anshar melintas dihadapan mereka dalam kondisi jenggot yang basah terkena air wudhu. Di tangan kirinya terdapat dua buah sandal miliknya. Keesokan harinya Rasulullah Saw. kembali mengatakan hal serupa dan muncullah lelaki seperti kali pertama. begitupula dengan hari ketiga. Peristiwa itulah yang menyebabkan para sahabat penasaran. Rasa ingin tahu salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Umar mendorong dirinya untuk membuntuti laki-laki tersebut guna mengetahui amalan apa saja yang telah ia lakukan sehingga Rasulullah Saw. selalu menyebutnya sebagai ahli surga.

Dengan berbagai macam alasan Abdullah bin Umar meminta izin kepada  lelaki tersebut untuk menginap selama tiga hari di rumahnya, hingga akhirnya lelaki tersebut mengizinkannya. Namun anehnya, selama jelang waktu tiga hari itu ia tidak menemukan sama sekali amalan-amalan spesial apapun yang dilakukannya kecuali ia selalu menyebut nama Allah dimanapun ia berada. Melihat keadaan demikian, Abdullah memberanikan diri untuk menyatakan tujuan yang sesungguhnya dan berkata: “Aku memabuntutimu karena penasaran, sebab Rasulullah Saw. selalu menyebut dirimu sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, aku ingin melihat sendiri amalan apa yang selalu engkau lakukan”.

Lelaki itu menjawab: “tidak ada yang istimewa dari amalan-amalan yang aku lakukan selain aku tidak memendam perasaan negatif (suudz-Dzan) atau kecurigaan terhadap siapapun dari kalangan kaum muslimin serta tidak pernah menanam rasa dengki dalam hatiku  kepada siapapun yang telah diberikan anugrah oleh Allah Swt.”.

Subhanallah, kisah di atas patut dijadikan sebagai ‘ibrah berharga bagi setiap muslim. Ada tiga amalan istimewa yang patut diteladani dari sosok laki-laki ahli surga tadi antara lain: Pertama; setiap manusia harus selalu belajar membiasakan diri untuk melibatkan Allah dalam setiap aktifitasnya. Mengingat sebanyak-banyaknya akan Allah dalam situasi dan kondisi apapun.

Allah SWT. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 41-42).

Kedua, melatih diri untuk tidak mudah berburuk sangka kepada siapapun sebelum terbukti melakukan kesalahan.

Rasulullah Saw. bersabda:

“jauhilah perbuatan berburuk sangka (al-Dzan) karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan” (HR. Muttafaq ‘alaih),

Ketiga, menghilangkan perasaan dengki kepada orang yang diberikan nikmat oleh Allah Swt. Yakinlah bahwa Allah Swt. Maha Mengetahui kebutuhan hambanya, karena itu, Dia telah menetapkan kepada setiap makhluk bagian masing-masing sesuai kebutuhan mereka tentunya melalui ikhtiar yang sungguh-sungguh. Rasa dengki yang ada dalam hati tanpa terasa dapat mengurangi nilai-nilai kebajikan yang pernah dilakukan.

Rasulullah Saw. bersabda:

“jauhilah perbuatan hasad karena hasad itu dapat memakan segala kebajikan bagaikan api yang memakan kayu bakar” (HR. Abu Daud, Ibnu Majjah). Wallahu a’lam.

BUAH KESABARAN

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. Pernah bersabda:

“Apabila Allah mencintai hambanya, maka ia akan mengujinya sehingga Allah mendengar permohonannya dengan penuh ketundukan” (HR. Al-Baihaqi)

Musibah merupakan salah satu cara Allah Swt menguji hambanya. Mungkin berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, keluarga serta buah-buahan. Demikian itu Allah lakukan untuk mengetahui siapa yang sabar dan tidak di antara mereka. Karena itu Allah menyatakan bahwa berilah kabar gembira kepada hamab-hambaKu yang sabar.

Allah berfirman:

Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(QS. Al-Baqarah: 155)

Ujian Allah itu juga bisa berbentuk perintah yang cukup berat dan sangat sulit untuk dilakukan seperti perintah jihad yang dahulu Allah Swt. perintahkan kepada para sahabat yang mengaku diri beriman. Mereka mengaggap bahwa ungkapan “Aku beriman kepada Allah” merupakan bukti akhir dari keimanan seseorang. Menyikapi hal itu Allah Swt. menurunkan al-ayat Qur’an yang berbunyi:

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami Telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi?

Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabût: 1-3)

Karena itu, yakinlah bahwa tidak seorangpun yang luput dari musibah dan ujian Allah Swt, bahkan dia adalah nabi kekasih Allah Swt. sekalipun. Mari sejenak kita membuka lembaran sejarah penuh makna dari seorang nabi (Ayub As.) yang sangat taat telah diberikan ujian besar oleh Allah Swt. Namun  dengan modal kesabaran ia mampu menghalaunya sehingga Allah Swt menempatkanny pada derajat yang tinggi disisi-nya.

Nabi Ayyub adalah seorang nabi yang diberikan banyak keutamaan oleh Allah Swt. berupa kekayaan yang berlimpah ruah, binatang ternak, tanah dan aset-aset lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Namun kekayaan yang ia miliki tersebut tidak menjadikan dirinya lalai untuk tetap taat dan patuh kepada semua perintah Tuhan-Nya. Kekayaanya juga tidak membuatnya angkuh dan sombong. Semua kekayaan tersebut ia gunakan untuk menyantuni fakir miskin, janda-janda serta anak-anak yatim.

Dengan izin Allah Swt. suatu hari Nabi Ayyub As. Memndapatkan cobaan yang sangat berat. Penyakit menaun yang menjijikkan dan sulit disembuhkan datang menimpanya. Bukan itu saja, kekayaan yang ia miliki sirna dengan seketika hingga ia jatuh miskin. Namun kondisi demikian tidak membuat dirinya surut dan pesimis. Ia tetap istiqamah dalam ketaat an kepada Allah. dari mulut beliau terucap: ”Ya Allah, sesungguhnya engkaulah yang telah memberiku, maka engkaulah yang berhak untuk mengambilnya”. Penderitaan yang dialami belum berakhir, teman dekat saat ia kaya telah banyak menjauhinya, bahkan Ayyub sendiri dikucilkan oleh mereka ke luar  kota. Istri yang beliau sangat cintai paergi meningalkannya kecuali Siti Rahmah yang tetap setia mendampinginya meski kesabarannya hampir saja hilang. Dari mulut Siti Rahmah pernah terucap kata-kata: “wahai suamiku engkau adalah seorang nabi yang mulia, seandainya engkau meminta kepada Tuhanmu pasti Dia akan membebaskanmu”. Nabi Ayyub menjawab: “Wahai istriku, kita sudah delapan puluh tahun lamanya menikmati kebahagiaan dan kehidupan yang serba berkecukupan, sungguh tak pantas rasanya untuk memintanya, terlalu sedikit cobaan yang kita terima dibandingkan kenikmatan yang telah aku rasakan”.

Dengan ketabahan yang dimiliki keduanya, Allah memberikan kesembuha kepada Nabi Ayyub dan keduanya kembali menikmati lembaran kehidupan baru, bahkan lebih bahagia dari sebelumnya. Ketabahan dan kepasrahan ysng dimiliki keduanya lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala yang terjadi dalam diri setiap makhluk adalah kehendak Allah Swt.

Firman Allah Swt.:

“Tidak suatu bencanapun yang menimpa dibumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhim mahfudz) sebelum kami menciptakannya, sesungguhnya yang demkian itu adalah mudah bagi Allah, supaya kamu jangan terlalu bergenbira terhadap apa yagdiberikan-Nya kepadamu dan Allah tidak menyukai seiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS;al-Hadid: 22-23)

Kejadian di atas tidak hanya berlaku bagi Nabi Ayyub secara personal saja melainkan bagi semua makhluk. Karena itu, ketundukan dan kepasrahan kepada Allahlah yang dapat menjadi modal utama  hidup ini. Harus diyakini bahwa apapun yang terjadi pada diri manusia merupakan spisode dari sebuah drama yang mesti dilalui sebelum sampai kepada ending cerita. Nabi Ayyub yang ketaatannya tidak dapat diragukan lagi telah mengalami peristiwa yang sungguh tragis, namun ketaatan kepada Tuhan-Nya telah menjadikan dirinya bersabar. Kini, mampukah kita untuk meneladani sifat Nabi Ayyub yang saat ditimpa musibah tidak sibuk menghitung kekayaan yang hilang namun berusaha menanamkan kesadaran bahwa nikmat yang telah diberikan jauh lebih besar dari musibah yang menimpa. Wallahu a’lam

MENJADI DERMAWAN

Nabi Yusuf selain seorang nabi dia juga adalah seorang raja di  Kota Mesir. Ia dikenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyat yang dipimpinnya saat itu merasa nyaman tentram dibawah kepemimpinannya. Pada suatu hari, ketika nabi Yusuf  as. sedang melaksanakan puasa, ada seorang sahabat yang datang kepadanya dan menanyakan tentang puasa yang dilakukannya. Sahabat itu bertanya, kenapa engkau berpuasa dan mau merasakan lapar, padahal seluruh harta kekayaan negara ini tertletak di bawah kekuasaanmu wahai Raja Yusuf. Nabi Yusuf menjawab “Aku takut kekenyangan saat aku meninggalkan orang lain dalam kelaparan”.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah didatangi seorang sahabat untuk meminta surban yang dimilikinya. Rasulullah Saw. Kemudian mengajaknya menuju padang rumput yang penuh dengan kambing ternak miliknya. Jumlah kambing tersebut sangat banyak. Dengan penuh rasa kasih dan sayang beliau mengatakan kepada sahabat tersebut, “Semua kambing yang aku miliki menjadi milikmu”

Dua kisah diatas mengisyaratkan kepada kita betapa mulia perilaku dan perangai para nabi-nabi Allah Swt. Mereka layak dijadika sebagai figur dalam kehidupan ini. Puasa yang dijalani semata-semata bukan hanya untuk taqarrub (usaha pendekatan diri) kepada Allah saja akan tetapi juga untuk belajar menumbuhkan rasa empati terhadap orang yang merasakan penderitaan sebagai tanda solidaritas antar sesama. lapar dan dahaga yang kita lakukan selama satu bulan penuh belum sebanding dengan apa yang dirasakan saudara-saudara kita yang jauh lebih menderita dalam hidupnya.

RUBAH SAJA AGAR JANGAN RAMADHAN OKEEE

Bulan Puasa yang kita rasakan saat ini mestinya dijadikan sebagai momentum untuk mengasah hati, menumbuhkan rasa empati, dan kemudian mau untuk berbagi, Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan, hal itu bisa dilihat dalam salah satu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dan beliau lebih dermawan lagi ketika dibulan  Ramadhan”. Bahkan lebih dari itu, beliau dengan tulus ikhlas memberikan apa yang paling dicintai sekalipun kepada orang yang membutuhkannya, meskipun beliau sendiri tidak merasakannya.

Contoh yang dilakukan Rasulullah itu senada dengan firman Allah dalam (QS. Al-Imran: 96) “sekali-kali kalian tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kalian menafkahkan apa yang yang kalian cintai, dan apapun  yang kalian nafkahkan dari sesuatu itu, sesungguhnya Allah mengetahunyai”.

Semoga ramadhan kali ini dapat menggugah kita untuk selalu mau menoleh dan menyisihkan apa-apa yang kita miliki untuk orang yang membutuhkannya, karena sebaik-sebaik harta yang kita miliki adalah yang kita berikan untuk orang lain. Wallahu a’lam.

NIKMAT SEHAT DAN WAKTU LUANG

Dari Ibnu Abbas Ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Dua ni’mat Allah yang banyak menjadikan manusia tertipu adalah ni’mat sehat dan waktu luang”(HR. Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa kesehatan dan waktu luang adalah anugerah Allah yang sangat besar bagi semua hambanya. Bagi yang memahami keduanya sebagai anugerah tentunya mereka akan mengisinya dengan hal-hal yang positif. Mereka tidak akan menyia-nyiakannya meski pun hanya sedetik. Karena meyakini bahwa ia suatu saat akan berubah, sehat menjadi sakit dan waktu luang menjadi sempit. Karena itu Rasulullah Saw. Memerintahkan kepada kita untuk senatiasa menjaga dan menghargai lima perkara sebelum datang lima perkara, sebagaimana dalam sabdanya:

“Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum dating masa tuamu, masa sehatmu sebelum datamg masa sakitmu, masa kayamu sebelum dating masa miskinmu, masa luangmu sebelum datang masa sempitmu dan masa hidupmu sebelum datang masa matimu”.

Waktu adalah hidup dan modal kesuksesan. Waktu juga merupakan umur, dengannya kita bisa melakukan segala yang kita inginkan, kesehatan yang dianugrahkan akan berguna tergantung kepada bagaimana kita memanfaatkannya, dengan kesehatan itu orang bisa berbuat yang terbaik untuk dirinya dan orang lain, tapi dengan itu pula orang bisa menjadi beban masyarakat dan sumber malapetaka, karena itu baik buruknya pebuatan itu, terpuji atau tidaknya pekerjaan itu ditentukan oleh kesadaran yang tinggi akan anugrah tersebut.

Sudah merupakan penyakit sosial yaitu merasakan makna dan arti sehat ketika merasakan sakit dan waktu untuk berbuat telah hilang, mulai merengek kepada tuhan saat merasakan musibah dan sebelumnya menjauh, lalu apa yang kita lakukan selama ini saat tubuh masih kuat dan waktu masih luang? Disanalah bukti bahwa kesadaran untuk menghargai waktu sehat dan waktu luang sangatlah  kurang kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali.

Fenomena sosial yang terjadi pada dekade akhir ini sudah sangat cukup untuk dijadikan bukti bahwa kita kurang mampu untuk menghargai ni’mat-ni’mat yang ada, yang semestinya kekuasaan yang diraih adalah ladang untuk mengabdi kepada Tuhan bukan untuk berbuat makar kepadaNya, tubuh yang kekar bukan untuk menghardik dan merampas hak-hak orang lain, penipuan, korupsi, pemerkosaan. Tidak jarang perbuatan-perbuatan yang di atas banyak dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan dewasa secara umur tapi belagak “begok” dan akan lebih berbahaya lagi apabila penyakit kurang merhargai ni’mat sehat dan waktu luang itu hinggap pada pemuda yang hidup dalam masa pubertas, hidupnya akan dipenuhi dengan hayalan-hayalan “iblis” yang menyebabkan lalai untuk beribadah kepada Tuhan.

Abu al-’Atahiyah mengomentari fenomena tersebut dengan ungkapan “Sesungguhnya masa muda, waktu luang, dan menimbun harta adalah kerusakan bagi manusia, sungguh suatu kerusakan”.

Menanamkan kesadaran akan pentingnya menghargai ni’mat sehat dan ni’mat waktu luang adalah tanggung jawab setiap individu masyarakat, terutama bagi orang tua sebagai komponen terpenting bangsa, agar setiap detik, menit, dan jam yang dilewati tidak terbuang dengan sia-sia, lebih lama hidup maka lebih banyak pengabdian yang bisa dilakukan, Rasulullah berpesan ” Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik perbuatannya dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya dan buruk perbuatannya, Wallahu a’lam.

BERSEGERA UNTUK BERTAUBAT

”Hai hamba-hambaku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Zumar: 53)

Setiap manusia pasti mempunyai salah, tidak ada seorangpun yang sempurna didunia, sehingga hal itu tidak menghalangi kita untuk mendapatka kasih dan sayang Allah. “Banyak jalan menuju roma” adigium ini adalah satu ungkapan yang sering kita dengar dan mengandung makna yang sangat mendalam terutama bila kita jadikan landasan untuk menggapai ridho Ilahi.

Kita jangan pernah berputus asa untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, tidak ada alasan untuk menyiksa diri dengan perasaan bersalah dan berdosa, akan tetapi sebaliknya kita harus selalu berharap untuk mendapatkan ampunanNya. Kesucian diri akan dapat dicapai hanya dengan bertaubat, Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadisnya “Setiap anak Adam itu bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat” (HR Ahnad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Darimy)

Untuk menambah keyakinan pada diri seorang bahwa Allah akan menerima taubat yang dilakukan, maka seorang mukmin harus berhusnuzzan terhadap Tuhannya, besar harapan bahwa Allah akan menerima taubatnya, dan juga besar harapan untuk memperoleh ampunan dariNya. Dengan demikian kita akan merasakan ketenangan dan kedamaian, Jabir bin Abdullah, pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda tiga hari sebelum beliau wafat: “janganlah engkau sekali-kali meninggal kecuali ber-husnuzzhan kepada Allah azza Wa jalla” (HR Muslim). Sesuai juga dengan firman Allah dalam hadis Qudsinya “Hai anak adam sungguh jika engkau berdoa dan mengharap-ku, aku akan mengampuni dosamu yang telah lalu dan aku tidak peduli, hai anak adam, seandainya dosa-dosamu sejauh langit dalam pandangan kenudian memohon ampun, aku akan mengampunimu, . Hai anak Adam, sungguh seandainya kaudatang pada-ku dengan dosa sebesar bumi dan seisinya kenidian kau menemui–ku (dalam keadaan) tidak menyekutukan-ku sedikitpun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan yang sepadan dengan bumi dan isinya” (HR Tirmidzi).

Dari hadis dan ayat-ayat al-Qur’an yang telah disbutkan diatas, jelaslah bahwa taubat adalah merupakan terapi ampuh terhadap perasaan gundah dan gelisah yang ditimbulkan oleh perasaan bersalah yang selalu menghantui, gelisah adalah salah satu penyakit jiwa yang sangat berbahaya, sedangkan taubat adalah berfungsi sebagai terapi atas kegelisahan sebelum timbul penyakit-penyakit lain yang lebih besar. Wallahu a’lam.

MALU

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap agama memiliki watak masing-masing dan watak Islam adalah sifat malu” (HR. Ibnu Majah)

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, dengan karakternya yang universal telah megisyaratkan kepada kita bahwa misi Islam itu bukan hanya mengandung misi ketuhanan saja melainkan juga misi sosial, untuk meraih kedua misi mulia tersebut Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha menanamkan sifat malu pada diri setiap individu.

Sifat malu memiliki kedudukan penting dalam Islam, bahkan sifat malu tersebut dikatagorikan sebagai akhlak paling terpuji, karena sifat dan sikap mulia yang lain seperti jujur, amanah, simpati kepada sesama,dan lain sebagainya akan lahir dan tercermin darinya, selain itu sifat malu merupakan salah satu factor meningkatnya kualitas keimanan yang ada dalam diri seorang muslim, keimanan tersebut selalu bertambah seiring dengan kekuatan sifat malu yang tumbuh dalam diri seorang muslim.

Rasulullah Saw, bersabda “sifat malu dan keimanan selalu berjalan beriringan, apabila hilang satu dari keduanya maka akan hilang pula yang lainnya” (HR. Hakim)

Dalam hadis yang lain “sifat malu tidak akan memberikan dampak apapun selain kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sifat malu memiliki dua tingkatan, pertama, tingkatan rasa malu yang tertinggi adalah rasa malu kepada Allah, seorang yang memiliki rasa malu kepada Allah akan mampu mengendalikan dirinya, dengan sifat itu seseorang tidak akan melakukan perbuatan buruk dan tercela yang dapat menimbulkan murka Allah, sifat malu melahirkan seseorang yang tidak rela melihat dirinya tercela dihadapan Allah, dihadapan manusia, dan bahkan dihadapan dirinya sendiri. Sifat malu akan memotofasi seseorang untuk selalu berusaha menjadi mulia dihadapan Allah, kehadiran Allah bersamanya akan memberikan dorongan spiritual untuk selalu memperbaiki diri dan selalu meningkatkan kualitas ibadah kedaNYa.

Tingkatan kedua adalah: malu kepada sesama, malu yang dimaksud adalah malu yang positif, sifat malu akan dapat mencegah seseorang yang beriman untuk tidak mengucapkan kata-kata tercela dan menyakiti orang lain seperti, mencaci, mencela, dan berdusta, tidak rela menghianati kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Tidak dapat dipungkiri lagi, saat ini sifat mulia itu sudah mulai terkikis jika tidak mau dikatakan telah lenyap, malu adalah akhlak yang dapat mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat, semakin besar rasa malu yang dimiliki setiap orang maka semakin baik pula tatanan kehidupan kita baik keluarga maupun masyarakat, dan orang yang paling sempurna kehidupannya adalah orang yang paling sempurna rasa malunya. Wallahu a’lam.

BUDAYA MALU

Rasulullah bersabda: Sesungguhnya diantara yang diketahui manusia dari perkataan kenabian yang pertama adalah jika engkau tidak malu, berbuatlah apa yang kau mau.” (HR, Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad).

M. Usman Najati mengartikan malu sebagai “perasaan yang dirasakan manusia, karena takut untuk  melakukan perbuatan tercela atau tidak diterima oleh agama dan akhlaq, dari difinisi diatas maka malu merupakan sifat terpuji yang dapat mencegah seseorang dari kesalahan atau melakukan perbuatan keji dan berbuat maksiat.

Rasulullah saw sangat memuji sifat malu dan menjadikannya sebagai sifat yang harus selalu menghiasi setiap pribadi mukmin. Ibnu Umar r.a. menceritakan bahwa “Suatu hari Rasulullah saw melewati seseorang yang sedang mencaci dan mencela saudaranya karena sifatnya yang pemalu. Ia berkata “sesungguhnya engkau sangat pemalu sampai-sampai rasa malu yang kau miliki bisa membahayakanmu” maka Rasulullah saw. Bersabda “biarkan ia karena sesungguhnya malu itu sebagian dari   iman dan malu itu tidak akan mendatangkan apa-apa kecuali kebaikan.” (HR. Syaikhani, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Malu yang dimksudkan dalam agama adalah kemampuan seorang untuk mengendalikan diri dari perbuatan maksiat dan dosa tanpa harus ragu dan takut untuk melakukan kebaikan dan kemuliaan yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moral.

Ada beberapa kriteria malu yang diterangkan Rasulullah dalam hadisnya yang tertuang dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud, “Malu terhadap Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga  kepala dan segala yang dipikirkan, perut dan isinya dan hendaklah kau ingat mati serta musibah, barang siapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa berbuat demikian berarti ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim).

Hadis Rasulullah di atas mengandung pelajaran bahwa malu terhadap Allah adalah selalu berusaha untuk menjaga pikiran kita dari berfikir yang tidak dibenarkan agama, menjaga pandangan, pendengaran, dan perkataan, menjaga perut dari makanan yang haram dan tidak membiarkan diri dan keluarga tumbuh dengan harta yang haram, selalu berusaha untuk mengingat mati dan menjadikan segala musibah yang menimpa kita atau orang lain sebagai ‘ibrah yang berharga, meninggalkan keterkungkungan diri dari dunia yang hina, beramal sebesar-besarnya demi kehidupan akhirat yang kekal.

Fenomena berfikir opurtunis untuk mencari keuntungan dan popularitas, korupsi, budaya sogok (risywah), dan semakin semaraknya tayangan-tayangan media  yang tidak mendidik merupakan isyarat bahwa budaya malu kepada Allah telah hilang dan terkubur dalam-dalam oleh kerakusan-kerasukan duniawi segelintir orang, Sebuah kata bijak diungkapkan oleh seorang syair terkemuka yang patut untuk kita renungkan, ia menggambarkan rasa malu pada diri seorang bagaikan pohon yang tidak memiliki akar, diantara bait syairnya ia mengatakan “demi Allah tidak ada kebaikan dalam kehidupan tanpa ada rasa malu, dan tidak ada dunia bila rasa malu telah sirna”, Semoga kita termasuk hamba Allah yang selalu berusaha untuk malu kepadanya kapan dan dimanapun. Wallah a’lam.

TERUSLAH BERHARAP

“…dan janganlah kalian berputus asa, sesungguhnya yang berputus asa dari karunia Allah itu hanyalah kaum yang kafir (QS, Yusuf: 87) dalam ayat yang lain juga Allah mengungkapkan hal yang senada “…dan yang berputus asa dari rahmat Tuhannya hanyalah orang-orang yang sesat (QS, al-Hijr:56)

Harapan adalah suatu kekuatan dalam diri manusia yang dapat mendorong serta menumbuhkan semangat untuk mau bekerja dan berusaha semaksimal mungkin dengan tujuan untuk meraih segala cita-cita. Harapan juga dapat membangkitkan semangat untuk berjuang dengan sungguh-sungguh karena masih ada kemungkinan kesuksesan yang akan diraih, seorang murid berusaha keras untuk belajar karena ada harapan untuk menuai kesuksesan, orang sakit meminum obat karena ada harapan untuk sembuh, seorang pemimpin bekerja keras dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab karena masih ada harapan menuju sebuah perubahan dan perbaikan.

Antonim dari pengharapan adalah putus asa atau hilangnya harapan, orang yang mudah putus asa, akan sulit untuk maju dan sukses. Tepatlah kalau Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa”kebinasaan itu disebabkan dua hal yaitu, putus asa dan bangga”. Putus asa artinya hilangnya harapan dari seseorang sehingga ia tidak memiliki gairah, semangat untuk melakukan sesuatu, karena apa yang dicarinya itu dalam pandangannya mustahil akan tercapai, sedangkan bangga oleh ibnu Mas’ud diartikan sebagai perasaan puas dan cukup atas apa yang telah diraih, sehingga semua itu sudah dianggap selesai dan ia tidak lagi mau berusaha.

Merasa hilang harapan adalah fitrah setiap manusia, namun islam sangat membenci orang yang berptus asa, bahkan tidak segan-segan Allah mengecamnya dengan dijuluki orang-orang yang kafir atau sesat. Untuk menumbuhkan harapan dibutuhkan keimanan karena orang yang beriman dalam keadaam apapun harus selalu meyakini akan rahmat dan pertolongan Allah akan datang setiap waktu, sesudah kesulitan akan datang kemudahan, Allah berfirman”Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kelapangan, sesungguhnya bersama kesulitan ada lagi kemudahan” (QS,al-Insyirah: 5-6)

Kondisi bangsa yang akhir-akhir ini semakin menyedihkan dan memperihatinkan semestinya tidak menjadikan kita putus asa, dengan bermodalkan keimanan, kita harus terus berusaha dengan semangat yang tinggi dengan harapan bahwa pertolongan dan bantuan Allah akan datang kepada kita, Allah akan menolong siapa yang dikehendaki, sebagaimana disinyalir dalam QS/30: 5-6) “Allah akan menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan dia maha Perkasa dan Penyayang. Itulah janji Allah dan Allah tiada pernah memungkiri janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. Wallahu a’lam.

MENGGAPAI KETENANGAN JIWA

Manusia secara fitrah telah diciptakan dalam keadaan keluh kesah sehingga tidak heran bila kedamaian dan ketenangan jiwa dan batin adalah dambaan setiap insan, berbagai macam cara ditempuh guna meraih tujuan tersebut, ada yang menganggap bahwa ketenangan dapat diraih dengan berekreasi, berkumpul dengan teman dan handai tolan, bernyayi, mengungkapkan perasaan kepada orang lain atau lewat tulisan, bahkan sering dijumpai, sebagian orang mencari ketenangan dengan mengumpulkan harta, dengan harta tersebut apapun dapat dibeli dan diperoleh, dengan harta mereka menghabiskan waktu dengan berpoya-poya sambil melakukan maksiat, namun pada hakekatnya ketenangan jiwa itu tidak dapat diraih hanya dengan materi saja melainkan itu adalah anugrah dari Allah yang didapati melalui upaya-upaya penghambaan kepada-Nya.

Allah sangat menghargai jiwa yang damai dan tenang, bahkan jiwa tersebut akan dipanggil dengan panggilan cinta-Nya, Allah berfirman “wahai jiwa yang tenang! Kembalilah engkau keharibaan Tuhan-Mu dengan rido dan diridhoi, masuklah kedalam golongan hambaku yang shaleh dan masuklah kedalam surgaku” (al-Fajr: 27-30).

Untuk meraih ketenangn jiwa tersebut, ada beberapa upaya yang harus dilalui,  Rasulullah Saw telah menjelaskan dalam salah satu hadisnya mengenai kreteria manusia yang dapat meraih ketenangan jiwa itu. Ibnu katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Rasulullah pernah mengajarkan doa kepada seorang laki-laki ”katakanlah! Ya Allah Tuhanku, kami memohon kepadamu jiwa yang damai, yang beriman kepada pertemuan dengann-Mu, yan ridho dengan ketentuan-Mu, dan yang puas dengan anugrah-Mu” .

Orang yang akan mendapatkan ketenangan jiwa itu adalah sebagai berikut: pertama; Ridho biliqâillah, manusia akan merasakan ketenangan jiwa, saat ia berusaha untuk selalu meyakini pertemuan dengan Tuhannya, dengan demikian ia berusaha ikhlas dalam beribadah dan selalu teguh dalam ketauhidan. kerridhoan Allah adalah tujuan utama setiap hamba dan ia adalah penghargaan yang jauh lebih mahal dari dunia dan isinya, penghargaan tersebut tidak dapat diraih kecuali bagi hamba yang takut kepada-Nya, “bagi mereka pahala dari sisi Tuhan-Nya yaitu berupa surga yang mengalir dibawahnya sungai, mereka kekal didalamnya, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah, yang demikian itu diberikan kepada mereka yang takut kepada Tuhan-Nya” (al-Bayyinah: 8). Kedua; Ridho bi al-‘Atâ: seorang yang mendambakan ketenangan jiwa harus belajar untuk selalu ridha dan puas terhadap segala anugrah yang Allah telah berikan kepadanya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw “…dan bersikap relalah terhadap segala yang Allah telah bagikan kepadamu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya” (HR.Tirmizi dan Ahmad). Ketiga; Ridha bi al-Qadha: hasil apapun yang dicapai setelah melewati usaha yang maksimal merupakan ketentuan dari Allah, baik atau buruk hasil tersebut, karena bisa jadi yang baik bagi kita belum tentu baik bagi Allah dan buruk bagi kita bisa jadi baik dalam pandangan Allah, Allah berfirman ”…bias jadi apa yang kalian  anggap buruk adalah baik bagimu dan bias jadi apa yang kalian anggap baik itu adalah buruk bagimu” (al-Baqarah: 216).

Kesadaran akan betapa pentingnya tiga hal diatas akan dapat mengobati kegelisahan yang dirasakan setiap orang, sehingga kita benar-benar akan merasakan ketenangan bathin. Wallahu a’lam.

KETABAHAN HATI

Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah: 155)

Salah satu ciri orang yang beriman adalah selalu bersabar saat ditimpa berbagai cobaan, musibah yang menimpa manusia adalah bagian dari cobaan, bisa jadi cobaan itu berbentuk sedikit ketakutan, kelaparan, kemiskinan/kekurangan harta, jiwa, dan buah buahan, namun segala bentuk cobaan itu akan berharga bagi mereka yang bersabar dan tegar.

Sabar dalam menghadapi segala problema kehidupan adalah memiliki dampak kehidupan  disini bukan berarti lemah namun sabar yang dimaksud adalah ketabahan hati dan keteguhan jiwa dalam segala problema kehidupan.

Kisah Sumayyah adalah salah ciri seorang muslimat yang tegar dan teguh dalam pendirian, dengan keimanan dan prinsip ketauhidan yang kuat telah menghantarnya menghadapi tekanan yang begitu dahsyat dari kaum Quraisy, Abu Lahab sebagai pembesar sekaligus pembangkang dakwah Islam, telah sengaja menghardik dan menyiksa Sumayyah beserta keluarganya, namun semua tipu muslihat yang dilakukan tidak mampu menggoyahkan prinsip ketauhidan yang Dimilikinya. Dengan ketabahan jiwa yang dimiliki sempat terucap kata-kata dari mulut sumayyah “Celakalah engkau wahai musuh Allah, Allah telah menjajikan bagiku surga, karena itu aku lebih memilih mati daripada melihat tampangmu wahai Abu lahab”, bahkan Rasulullah saw. pernah bersabda, terlihat dari ungkapan beliau “Bersabarlah keluarga Yasir (suami Sumayyah) janji untuk kalian adalah surga, ya Allah ampunilah keluarga Yasir”. akhirnya Sumayyahpun meninggal dalam syahid, sehingga namanya dilestarikan dalam sejarah sebagai seorang syahid pertama dalam Islam.

Ada beberapa mau’idzah yang dapat dipetik dari kisah diatas, diantaranya adalah: Pertama, keteguhan hati dan ketegaran jiwa adalah perangkat terpenting yang harus dimiliki seorang muslim dalam mempertahankan prinsip yang diyakini khususnya dalam mempertahankan prinsip Fundamental (aqidah) dan umumnya semua prinsip-prinsip agama yang telah ditetapkan oleh Allah demi kemaslahatan hambanya. Kedua, Keyakinan Orang yang beriman tidak mudah untuk luntur meski diterpa ujian dan cobaan yang besar sekalipun, terbukti dari kisah diatas, Sumayyah dan seluruh keluarganya menanggung penyiksaan yang sangat mengharukan namun keteguhan dan ketatabahan jiwa telah menghantarkannya menjadi hamba Allah yang dijanjikan surga. Ketiga, yakin terhadap janji Allah adalah modal utama untuk menambah ketabahan dan ketegaran jiwa dalam menghadapi semua problematika kehidupan.

Semua manusia tidak akan bisa berlari dari cobaan, karena itu adalah janji Allah kepada hambanya sesuai dengan firman Allah dalam QS, al-Baqarah: 155

“Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “inna lillah wainna ilaihi raji’un”.

Dalam era globalisasi ini kita sering dihadapkan kepada sebuah pilihan yang terkadang kita susah untuk menentukan pilihan tersebut, antara kebenaran dan kelaliman, antara kemuliaan dan kehinaan, antara popularitas dan harga diri, semua itu akan dapat dihadapi ketika kita memiliki prinsip yang kuat, didasari ketaqwaan kepada Allah dan ketabahan/ketegaran jiwa, tentunya kita juga tidak bisa lepas dari bimbingan Allah sebagai sang khaliq. Wallahu a’lam.

MANIS TUTUR KATA

“dan katakanlah kepada hamba-hambaku! Hendaklah mereka mengucapkan kata-kata yang terbaik…” (al-Isra: 53)

Manusia adalah makhluk yang selalu memiliki ketergantungan kepada orang lain, baik itu saudara, kerabat, sahabat atau yang lainnya, mereka selalu mendambakan hidup yang damai dan harmonis.

Secara naluri, setiap orang mempunyai keinginan untuk dapat berbuat kebaikan kepada orang lain, namun terkadang keinginan itu tidak dapat direalisasikan hanya karena alasan keterbatasan materi, padahal sesungguhnya, masih banyak cara dan jalan untuk dapat mewujudkan cita-cita suci tersebut, salah satu diantaranya adalah berusaha untuk selalu manis dalam bertutur kata. Memuji orang yang berbuat baik sekecil apapun, tidak membentak, tidak menghina dan lain sebagainya adalah sedekah, Rasulullah bersabda “tutur kata  yang baik adalah sedekah” (HR. Bukhari-Muslim).

Allah telah menjanjikan surga bagi hambanya yang selalu berusaha berkata baik sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda “di dalam surga terdapat sebuah kamar yang terlihat bagian luarnya dari dalam dan bagian dalamnya dari luar” seorang sahabat bernama Abu Malik al-Asy’ari bertanya! untuk siapakah kamar itu wahai Rasulullah? Rasulullah Saw menjawab, “kamar itu disediakan bagi orang yang bertutur kata baik, orang yang memberi makan orang lain, dan untuk orang yang shalat malam saat manusia sedang tertidur” (HR.Thabrani dan al-Hakim), “amalan yang dapat memasukkan seorang ke dalam surga adalah: memberi makan orang lain, menyebarkan salam, dan bertutur kata yang baik” (HR.Thabrani).

Dalam riwayat yang lain diceritakan pula oleh al-Bazzar dari Anas, dia berkata bahwa seseorang pernah berkata kepada Rasulullah Saw, ajarilah aku suatu amalan yang dapat membuatku masuk surga!, Rasulullah bersabda “berilah makan, sebarkanlah salam, perindahlah ucapan, dan shalatlah di malam hari saat manusia sedang tertidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat” (Hadis Shahih)

Semua hadis di atas menunjukkan kepada kita betapa tutur kata yang baik memiliki posisi yang tinggi dalam Islam, ia adalah manifestasi dari kesalehan. Membahagiakan keluarga, tetangga, atau orang yang tidak kita kenal sekalipun tidak hanya bisa diukur lewat materi saja, akan tetapi semua yang terbaik yang kita miliki dapat kita jadikan sebagai ladang ibadah meski hanya sekedar tutur kata yang baik.

Dengan harta kita bisa bersedekah dan berempati, dengan salam kita dapat menebarkan keselamatan, dan dengan kata yang indah dan baik kita dapat  menebarkan kedamaian dan ketenangan. Bukankah Rasulullah Saw, pernah bersabda, “…takutlah kalian kepada neraka walaupun dengan sepotong kurma, dan barang siapa yang tidak mampu menginfakkan sepotong kurma, maka hendaknya bertutur kata yang baik” (HR.Bukhari-Muslim), Wallahu a’lam

ORANG PALING BANGKRUT

Didalam mengarungi kehidupaan dunia ini manusia seringkali lupa bahwa apapun yang dilakukan baik kecil maupun besar, semuanya tidak akan luput dari pengetahuan dan pengawasan sang khaliq. Baik buruknya hasil yang akan diterima pada hari pembalasan kelak tergantung kepada besar dan kecilnya kadar amalan yang dilakukan, sebagaimana yang dilansir oleh Allah dalam salah satu firmannya “barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya”. (QS: Al-Zilzalah/7-8)

Maksiat-maksiat kecil yang kita asumsikan sepele dan biasa-biasa saja bisa jadi memiliki implikasi terhadap kebajikan-kebajikan yang telah kita lakukan. Dalam sebuah kisah diceritakan tentang betapa besar pengaruh perbuatan kemaksiatan terhadap pahala kebajikan yang telah diperbuat manusia, diriwayatkan oleh Tsauban bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda “aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari kiamat nanti ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung-gunung di Tihamah yng putih kemudian Allah menjadikannya seperti kapas yang bertebrangan” Tsauban bertanya ‘wahai Rasulullah! Jelaskan kepada kami siapakah mereka itu? Agar kami tidak termasuk golongan mereka” Rasulullah berkata “mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian! Mereka juga bangun malam sperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat maksiat mereka melakukannya” (HR. Ibnu Majah)

Ketaatan kepada Allah seharusnya dapat menjadi kekuatan (power) dalam diri manusia sebagai senjata untuk memerangi segala kemaksiatan yang ditiupkan oleh iblis kedalam hati-hati mereka. Sungguh merugi rasanya ketika ibadah yang kita lakukan ternodai oleh kemaksiatan-kemaksiatan kecil yang sering kita abaikan keberadaannya, sehingga pada hari kiamat nanti kita digolongkan kedalam hamba-hamba Allah yang bangkrut, dalam hadisnya yang lain Rasulullah kembali menjelaskan tentang kreteria orang yang bangkrut pada hari kiamat. Rasulullah bertanya kepada para sahabat “tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan bangkrut (al-Mufallis) itu? Sahabat menjawab! Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki harta dan perhiasan, Rasulullah berkata “sesungguhnya orang yang bangkrut diantara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, dan zakat mereka, disamping mereka juga membawa beban dosa dari perbuatan mencaci maki, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, menganiaya, maka saat itu mereka diberikan pahala dari kebaikan  yang mereka lakukan, setelah pahala kebaikan tersebut telah diterimanya, maka pahala kebaikan itu diambil untuk menghapus kejahatan orang yang dizolimi dan kesalahan mereka dibebankan kepadanya sehingga kemudian mereka dilemparkan keneraka” (HR. Tirmidzi)

PEMIMPIN SEDERHANA

Umar bin Abdul Aziz adalah salah seorang khalifah dari bani Umayyah, ia dilahirkan dalam keluarga yang kaya dan sangat berkecukupan, namun ketika ia menjadi penguasa disaat kekayaan dunia datang kepadanya dengan terbuka, ia tidak meraupnya dengan rakus akan tetapi beliau malah meninggalkannya, maka tidak salah bila Malik bin Dinar menjulukinya sebagai penguasa yang zahid. Hal itu terbukti dari gaya hidup sehari-hari Umar bin AbdulAziz yang terlihat sangat sederhana, bahkan dalam sebuah kisah dikatakan bahwa kehidupannya tidak mencerminkan akan posisinya sebagai seorang penguasa.

Pada suatu hari Umar bin abdul’Aziz menghampiri istrinya dengan bermaksud  meminta pinjaman satu dirham darinya untuk membeli anggur, namun pupus harapan saat apa yang diharapkan dari istrinya tidak dihasilkan, istrinya berkata dengan agak terheran ” bukankah engkau adalah amir al-Mukminin?, tapi ironisnya, mengapa untuk membeli anggur saja engkau tidak mampu?” Umar menjawab ” sangat berat bagi saya untuk meninggalkan rantai dan belenggu esok hari nanti dalam neraka jahannam, hal ini senada juga dengan ungkapan nabi Yusuf saat beliau menjadi seorang raja, ketika didatangi oleh seorang sahabatnya dan bertanya, mengapa mau merasakan kelaparan sedangkan seluruh kekuasaan dan harta negeri ini berada pada kekuasaanmu? Nabi Yusuf menjawab “saya takut merasakan kenyang, saat dimana masih ada rakyatku yang merasakan kelaparan”

Teladan adalah aspek terpenting dari sebuah kepemimpinan, perubahan dalam sebuah tatanan masyarakat dari yang terkecil sampai yang terbesar tidak akan pernah terwujud apabila manager, direksi, pemimpin, tidak mau memperlihatkan tekad suci yang langsung di aplikasikan dalam bentuk nyata sekaligus sebagai “leader” yang  langsung memimpin perubahan tersebut.

RUGI YANG SESUNGGUHNYA

Besar atau kecil perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia pasti akan mendapatkan  balasannya, begitulah Allah menjelaskannya dalam al-Qur’an “Barang siapa yang melakukan kebaikan meskipun sebesar biji zarrahpun dia akan melihatnya dan barang siapa yang melakukan kejahatan meskipun sebesar biji zarrah dia akan melihatnya pula” (al-Zilzalah: 7-8)

Diantara kesalahan yang seringkali terjadi pada manusia dan kesalahan itu acapkali dianggap ringan, namun pada hakekatnya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perbuatan yang lain adalah, sikap terbiasa menganggap remeh kesalahan-kesalahan kecil, orang terbiasa berdusta, melecehkan, menghina, ghibah, mengambil hak orang lain dan lain sebagainya. Sikap inilah yang kemudian dikomentari oleh Rasulullah Saw, sebagai sikap orang-orang yang paling merugi diakhirat.

Rasulullah Saw, bertanya kepada para sahabat “tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan bangkrut (al-Mufallis) itu? Sahabat menjawab! Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki harta dan perhiasan, Rasulullah berkata “sesungguhnya orang yang bangkrut diantara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, dan zakat mereka, disamping mereka juga membawa beban dosa dari perbuatan mencaci maki, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, menganiaya, maka saat itu mereka diberikan pahala dari kebaikan  yang mereka lakukan, setelah pahala kebaikan tersebut diterimanya, maka pahala kebaikan itu diambil untuk menghapus kejahatan orang yang dizolimi dan kesalahan mereka dibebankan kepadanya sehingga kemudian mereka dilemparkan keneraka” (HR. Tirmidzi)

Dari Hadis Rasulullah diatas ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik, pertama, Allah maha mengetahui semua perbuatan yang dilakukan manusia, baik ataupun buruk perbuatan itu, karena sekecil apapun perbuatan itu Allah pasti mengetahuinya. Kedua, bukti ketaatan hamba kepada Tuhannya dapat diekpresikan lewat usaha yang maksimal dalam meninggalkan perbuatan dosa sekecil apaun., ketiga, ketaatan dalam bentuk ibadah yang dilakukan diharapkan dapat memberikan cahaya bilkhusus pada diri pelaku dan kepada masyarakat secara umum, orang yang memahami bahwa semua ibadah yang telah diwajibkan selain memiliki tujuan ibadah secara individu juga dapat memiliki tujuan social, hamba yang memahami shalat sebagai sarana mencegah perbuatan mungkar tentu akan berdampak besar ketika seorang hamba berkumpul dan menyatu dengan komunitas masyarakat selain dirinya, saum dapat menghapus sifat tamak, dusta, perkataan keji dan sebagainya, zakat dapat membentuk pribadi hamba yang pengasih, penyayang, empati, sedangkan ibadah haji melahirkan pribadi sosial dan egaliter.

Marilah kita mualai belajar untuk menjadi manusia yang dapat bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat serta lingkungan, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw,

Diriwayatkan oleh Jabir sesungguhnya RAsulullah Saw, bersabda “seorang mukmin itu adalah orang yang selalu berusaha berdamai dan mendamaikan dan bukan mukmin orang yang tidak berdamai dan mendamaikan dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.” (Hadis riwayat al-Thabrani)

SELALU MERASA CUKUP

Salah satu faktor terpenting dari kedamaian dan kebahagiaan manusia adalah sikap Qana’ah (merasa cukup dengan apa adanya) terhadap rezeki dan nikmat yang telah dterima, sikap itu berfungsi untuk meminimalisir kerakusan dan ketamakan diri yang kerap kali menimbulkan rasa iri, benci, dan putus asa ketika apa yang diharapkan tidak kunjung diraih.

Rasulullah saw. Sebagai qudwah hasanah telah mencontohkan sifat mulia itu dalam kehidupan beliau sehari-hari, itu dapat dilihat dari pola hidup beliau yang sangat sederhana akan tetapi kehidupan yang demikian itu selalu disyukuri, hal itu diperkuat oleh wasiat yang disampaikan kepada para sahabat yang berbunyi “bukamlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, akan tetapi kaya itu adalah kaya jiwa” (HR. al-Saukani dan Tirmidzi)

Untuk dapat meraih sifat Qananah, Rasulullah memberikan keterangan, antara lain adalah, selalu berusaha untuk melihat orang yang lebih miskin darinya dalam hal harta dan tidak membandingkannya dengan orang yang lebih kaya, karena yang demikian itu akan menjadikan kita selalu merasa puas dan selalu bersyukur terhadap bagian yang telah kita terima besar atau kecil quantitasnya, demikian itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dalam harta dan janganlah kalian melihat orang yang berada diatas kalian dalam harta, hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian” (HR. al-Saukhani dan Tirmizi).

Hadis diatas mengisyaratkan kepada kita bahwa, rizki atau kekayaan setiap orang telah ditetapkan oleh Allah, perbedaan kadar kekayaan setiap orang merupakan sunnatullah yang tidak dapat dirubah. Kita mestinya belajar untuk menyadari bahwa, apa yang kita raih dengan cara yang halal itulah milik kita, tanpa pernah harus berputus asa dari rahmat Allah apalagi dengan cara mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak terhormat.

Setiap manusia telah ditetapkan bagian masing-masing sesuai dengan kebutuhan hidupnya, akan tetapi karena kerakusan yang ada pada dirinya manusia tidak pernah merasa puas dari apa yang telah diraih, sehingga tidak jarang harta yang sebenarnya milik orang lain juga menjadi miliknya. Sudah tidak ada batasan lagi mana harta yang halal dan mana yang haram.

Rela terhadap ketentuan Allah adalah makna sebenarnya dari kekayaan karena orang yang kaya adalah orang yang selalu merasa berkecukupan walaupun pada zahirnya ia adalah orang miskin harta. Rasulullah bersabda “…dan bersikap relalah terhadap apa yang telah Allah bagikan untukmu, niscaya kamu menjadi orang yang paling kaya” (HR.tirmizi dan Ahmad). Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang selalu bersifat Qana’ah agar kita dapat meraih kekayaan yang haqiqi. Wallahu a’lam.

TIMBANGAN PALING BERAT

diriwayatkan oleh jabir bahwasanya Rasulullah Saw, bersabda “sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan orang yang paling dekat Posisinya denganku di hari kiamat kelak adalah sebaik-sebaik budi pekerti diantara kalian” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Akhlaq secara etimologi berarti perangai, tingkah laku, atau budi pekerti. secara terminologi al-Qurtubi mengartikannya sebagai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia saat mereka bergaul dengan orang lain baik prilaku yang baik seperti, pemaaf, lemah lembut, ramah tamah, sabar, tabah dalam menghadapi segala cobaan, kasih dan sayang terhadap sesama, memiliki rasa solidaritas dan empati terhadap orang lain, dan lain sebagainya ataupun perilaku yang tercela seperti mengahrdik, memaki, merampok, koropsi dan sebagainya.

Rasulullah juga menyatakan dalam hadisnya bahwasanya akhlaq mulia itu mencakup segala perbuatan mulia baik dari perbuatan yang kecil sampai kepada perbuatan yang besar, Rasulullah Saw, bersabda yang diriwayatkan oleh Abdullah al-Mubarak “termasuk akhlaq mulia adalah, muka yang berseri, berbuat kebaikan, dan mencegah diri dari berbuat aniaya terhadap orang lain” (HR. Tirmidzi)

Akhlaq mulia merupakan sifat luhur yang dapat menyelamatkan pelakunya dari penyakit-penyakit lisan maupun hati, ia dapat meninggikan derajat dan martabat manusia sampai derajat ihsan, baik dimata sang khaliq maupun dimata manusia.

Allah mengutus Rasul-Nya juga pada dasarnya bertujuan untuk menyempurnakan akhlaq manusia, hal itu disinyalir oleh Rasulullah Saw.  dalam sabdanya yang berbunyi “sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepada manusia untuk menyempurnakan   akhlaq yang mulia” (HR. Abu Daud)

Fenomena alam saat ini sudah cukup menjadi saksi betapa alam dunia ini sangat merindukan makhluk yang berakhlak mulia, betapa indahnya sebuah masyarakat yang taat kepada Tuhannya, betapa damainya dunia ketika dihuni oleh masyarakat yang berakhlak, mereka hidup bersama dengan penuh rasa cinta, kasih sayang, saling menghormati antara sesama, dan saling menasehati dalam kesabaran dan kebenaran.

Ketahuilah bahwasanya seberat-berat timbangan di hari kiamat adalah akhlak yang mulia, Rasulullah menegaskannya  dalam sebuah hadisnya: “tidak ada sesuatu amal apapun yang paling berat timbangannya pada hari kiamat daripada akhlak mulia,  sesungguhnya Allah SWT. sangat membenci orang yang berbuat buruk dan berkata kotor” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Wallahu a’lam.

CERDAS DAN BODOH DALAM ISLAM

Kualitas hidup seseorang itu tergantung kepada bagaimana mereka memandang hidup dan cara pandang banyak dipengaruhi oleh wawasan keilmuan mereka tentang hidup, sebagai ilustrasi orang yang melakukan shalat, ketika orang mengannggap bahwa shalat itu hanya sebagai ritinitas maka ia tidak akan mendapatkan apapun kecuali lelah, orang yang melakasanakan ibadah puasa, mereka yang memahami ibadah puasa hanya sekedar menjaga diri dari lapar dan dahaga maka yang dihasilkan hanya lapar dan dahaga pula, adapun orang yang membekali diri dengan wawasan keilmuan yang luas serta cara pandang yang baik akan memahami bahwa semua ibadah yang dilakukan memiliki implikasi positif yang sangat besar terhadap dirinya dan semua makhluk sekelilingnya, hingga pada akhirnya semua ibadah yang dilakukan akan berkualitas.

Orang yang menganggap bahwa hidup di dunia adalah kehidupan yang kekal akan berfikir untuk melakukan semua aktifitas dengan tujuan duniawi saja yaitu, bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan dunianya, memuaskan nafsunya dan sebagainya, tanpa pernah berfikir bahwa masih ada kehidupan yang lebih abadi dan lebih layak diperjuangkan dan dipertaruhkan selain kehidupan dunianya.

Karena itu dalam pandangan Islam kecerdasan dan kebodohan itu dapat diukur lewat bagaimana seseorang memahami kehidupan itu, Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengungkapkan “Orang yang cerdik adalah orang yang selalu menjaga dirnya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil yaitu orang hanya mengikuti hawa nafsunya tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi)

Hadis di atas mengandung banyak pelajaran berharga, diantaranya adalah:  pertama, kecerdasan emosional serta spiritual seseorang yang sebenarnya terletak pada bagaimana seseorang itu memandang hidup, mereka melihat bahwa hidup itu tidak terbatas pada dunia saja melainkan masih ada perjalanan dan kehidupan yang kekal abadi, orang yang berfikiran demikian akan selalu termotifasi untuk selalu menyaiapkan dirinya dengan amal baik serta berusaha menyelamatkan dirinya dari kesalahan dan kemaksiatan. Kedua, orang yang kerdil atau bodoh adalah, orang yang selalu melakukan semua aktifitas semata-mata untuk dunianya tanpa pernah befikir bahwa masih ada kehidupan selanjutnya, mereka hanya memenuhi keinginan nafsunya, memenuhi kebutuhan meteri atau jasmani dan melupakan kebutuhan rohani, sedangkan mereka selalu berharap akan mendapatkan anugrah dan ampunan dari Allah.

peningkatkan kualitas ibadah kepada Allah tidak akan dapat terealisasi  kecuali pada diri seseorang muslim dibangun keyakinan bahwa, akhirat adalah kehidupan yang kekal dan tujuan akhir dari sebuah kehidupan.

Allah menjanjikan bagi hambanya yang mempersiapkan dirinya untuk kehidupan akhirat keuntungan dunia, sebaliknya, Allah hanya akan memberikan sebagian dari keuntungan dunia kepada hambanya yang mencari un sich dunia, sesuai dengan firmanNya:

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat “. (QS.al-Syura: 42/20)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

RANDOM CONTENT BLOG