ISTRIKU BIDADARIKU

Pernikahan adalah penyatuan jiwa-raga antara seorang pria dan seorang wanita untuk membangun keluarga baru yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sakinah bermakna tenteram dan bertahan lama. Mawaddah berarti penuh dengan cinta kasih antara istri dan suami. Sedangkan rahmah mengandung makna penuh dengan karunia dari Allah Sang Maha Penyayang.

Menikah itu bagaikan menanam bibit pohon buah-buahan. Bila pengelolaannya baik, maka baik jugalah buah yang dihasilkannya. Begitu pula sebaliknya. Seandainya pengelolaannya buruk, maka buruk jugalah buah yang dihasilkannya.

Yang ideal adalah bila sang suami dan sang istri sama-sama merasa seolah-olah berada di surga sejak akad nikah hingga akhir hayat. Suami merasa, “Istriku bidadariku.” Begitu pula sebaliknya. (“Suamiku bidadaraku.”) Sementara itu, sebagaimana di surga, masing-masing tidak merasa takut akan kehilangan. (Apabila yang menonjol adalah rasa takut akan kehilangan pasangan, maka penderitaannya hampir bagaikan di neraka.)- Menurut Pak Shodiq, apa yang dimaksud dengan relasi suami istri?

Pola hubungan antara suami dan istri dalam kaitannya dengan posisi masing-masing. Pandangan suami bisa berbeda dengan pandangan istri mengenai hubungan antara mereka ini.

Dalam suatu pernikahan, segala kemungkinan relasi dapat terjadi. Faktor kepribadian dan latar belakang budaya masing-masing biasanya berpengaruh besar. Dalam pengamatan pribadi saya, relasi suami-istri yang paling banyak terjadi pada masa kini adalah relasi kepemilikan. Pola pikir suami pada umumnya adalah “saya memiliki istri”. Sedikit sekali yang berpikiran “saya dimiliki oleh istri”. Namun, pola pikir istri pada umumnya adalah “saya memiliki suami” dan sekaligus “saya dimiliki oleh suami”.

Relasi kepemilikan bukanlah relasi yang baik. Yang baik menurut saya diantaranya adalah relasi penyatuan (atas dasar cinta). Mestinya, pola pikir yang dominan pada kedua pihak adalah “Kami suami-istri saling mencintai bagaikan sepasang mempelai di surga“.

Relasi kepemilikan menumbuhkan akar masalah berupa “rasa takut kehilangan”. Sebab, hanya orang yang merasa memiliki sajalah yang bisa kehilangan. (Sebaliknya, orang yang merasa tidak memiliki apa-apa takkan merasa kehilangan apa-apa.)

Dari akar masalah tersebut, bisa tumbuh berbagai masalah “keserakahan” seperti perselingkuhan, kecemburuan yang berlebihan, merasa kebutuhan diri kurang terpenuhi, merasa kurang dihargai, merasa kurang dicintai, dan sebagainya. Masalah KDRT (kekerasan dalam rumahtangga) pada umumnya pun mungkin berakar di situ pula, terutama karena suami merasa sepenuhnya “memiliki” si istri, seolah-olah istri adalah budak yang dimiliki oleh suami.

– Apa saja hak dan kewajiban seorang suami?
– Apa saja hak dan kewajiban seorang istri?

Pembicaraan hak dan kewajiban itu berarti menggunakan sudut pandang hukum normatif (misalnya: hukum Islam dan hukum negara). Saya bukan ahli hukum normatif dan jarang pula menggunakan sudut pandang tersebut. Karena itu, saya mungkin kurang mampu menjelaskan apa saja hak dan kewajiban seorang suami atau pun istri.

Sebagaimana saya sebut di atas, saya memandang bahwa menikah itu bagaikan menanam bibit pohon buah-buahan. Jika kita melakukannya dengan berlandaskan cinta, maka segala yang kita lakukan dalam rangka penanaman dan perawatan pohon itu tidak kita rasakan sebagai kewajiban (atau apalagi beban). Kita juga tidak perlu menuntut hak kepada si pohon untuk memberi buah kepada kita. Bila kita menanam dan merawat pohon buah-buahan itu dengan penuh cinta, maka pohon tersebut akan menghasilkan buah yang sebagus-bagusnya “dengan sendirinya” (sesuai dengan sunnatullah).

Buru-buru menikah padahal belum siap itu mungkin menunjukkan “keserakahan”. Bolehjadi mereka terlalu bernafsu ingin “memiliki” sesuatu yang belum waktunya untuk “dimiliki”. Padahal, “keserakahan” itu merupakan salah satu unsur utama dalam pola “kepemilikan” seperti yang saya sebut di atas. Secara demikian, relasi kepemilikan pada pasangan semacam itu mungkin lebih menonjol.

Akibatnya, akar masalah yang akan mereka hadapi, yakni “rasa takut kehilangan”, akan lebih besar pula. Padahal, kemampuan mereka untuk mengatasi rasa takut ini masih amat kurang. Walhasil, bisa-bisa rumahtangga mereka (dan bahkan diri mereka sendiri) menjadi “layu sebelum berkembang”.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

RANDOM CONTENT BLOG